PAJAK PENAMBAHAN NILAI

PAJAK PENAMBAHAN NILAI




Konsep Dasar PPN
Menurut Prof. Suparmo &Woro Damayanti, SE dalam bukunya “Perpajakan Indonesia - Mekanisme dan Perhitungan’’ (2010:125) menjelaskan bahwa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak yang dikenakan atas konsumsi di dalam negeri (daerah pabean), baik konsumsi Barang Kena Pajak (BKP) maupun konsumsi Jasa Kena Pajak (JKP). Oleh karena itu, barang yang tidak dikonsumsikan di dalam daerah pabean atau barang yang diekspor dikenakan pajak dengan tarif 0% dan sebaliknya untuk impor barang dikenakan pajak yang sama dengan produksi barang dalam negeri.
Perkembangan ekonomi yang sangat dinamis baik di tingkat nasional, regional maupun internasional terus menciptakan jenis serta pola transaksi bisnis yang baru.Sebagai contoh, di bidang jasa, banyak yang timbul transaksi jasa baru atau modifikasi dari transaksi sebelumnya yang pengenaan Pajak Pertambahan Nilainya belum diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
Dalam rangka menjawab perubahan yang sangat cepat tersebut, perlu dilakukan pembaruan dan penyempurnaan undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Pembaruan (reformasi) sistem pajak konsumsi telah dilakukan pada tahun 1983 dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Langkah pembaruan dan penyempurnaan terus dilakukan secara konsisten pada tahun 1994 dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 dan terakhir tahun 2000 dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, yang terbaru ialah diterbitkannya Undang-Undang nomor 42 Tahun 2009.

B.  Karakteristik (Legal Character), Kelebihan dan Kelemahan PPN
1.  Karakteristik (Legal Character)
a.  PPN merupakan pajak tidak langsung yang dapat dirumuskan berdasarkan dua sudut pandang sebagai berikut:
1)  Sudut pandang ekonomi, beban pajak dialihkan kepada pihak lain, yaitu pihak yang akanmengkonsumsi barang atau jasa yang menjadi objek pajak.
2)  Sudut pandang yuridis, tanggung jawab pembayaran pajak kepada kas Negara tidak berada di tangan pihak yang memikul beban pajak. Sudut pandang secara yuridis ini membawa konsekwensi filosofis bahwa dalam pajak tidak langsung apabila pemberi atau penerima jasa telah membayar pajak-pajak yang terutang kepada penjual atau pengusaha jasa, pada hakikatnya sama dengan telah membayar pajak tersebut ke kas Negara.
b.  Pajak Objektif
Suatu jenis pajak yang saat timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh faktor objektif, yaitu keadaan peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak yang juga disebut dengan nama objek pajak. Sebagai pajak objektif, timbulnya kewajiban untuk membayar PPN ditentukan oleh adanya objek pajak.
c.   Multi Stage Tax
Karakteristik PPN yang dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi maupun jalur distribusi.
d.  PPN terutang untuk dibayar ke kas Negara dihitung
Menggunakan indirect subtraction method / credit method / invoice method. Pajak yang dipungut oleh (KPK) penjual atau pengusaha jasa secara tidak otomatis wajib dibayar ke Kas Negara. Metode pengurangan pajak tidak langsung adalah PPN terutang yang wajib dibayar ke Kas Negara merupakan hasil perhitungan megurangkan PPN yang dibayar kepada KPK lain yang dinamakan Pajak Masukan (Input Tax) dengan PPN yang dipungut dari pembeli atau penerima jasa disebut pajak keluaran (Output Tax). Metode pengkreditan adalah pajak yang dikurangkan dengan pajak untuk memperoleh jumlah pajak yang akan dibayar ke kas Negara (Tax Credit) untuk mendeteksi kebenaran jumlah pajak masukan dan pajak keluaran yang terlibat dalam mekanisme ini dibutuhkan dokumen, yaitu faktur pajak (Tax Invoice) sehingga dapat disebut sebagai metode faktur (Invoice Methode).
e.  PPN adalah pajak atas konsumsi umum dalam negeri.
PPN hanya dikenakan atas konsumsi barang kena pajak dan atau jasa kena pajak yang dilakukan di dalam negeri. Komoditi import dikenakan PPN dengan presentase yang sama dengan produk domestik.
f.    PPN  Bersifat Netral
Netralis PPN dibentuk oleh dua faktor, yaitu:
1)    PPN dikenakan atas konsumsi barang maupun jasa
2)    Dalam pemungutannya, PPN menganut prinsip tempat tujuan (destination principle)
Dalam mekanisme pungutannya, PPN mengenal dua prinsip yaitu:
a)    Prinsip tempat asal (Origon Principle)
PPN dipungut ditempat asal barang atau jasa yang akan dikonsumsi
b)    Prinsip tempat tujuan (Destination Principle)
PPN dipungut di tempat tujuan.Komoditi impor menganut prinsip tempat tujuan. Barang dalam negeri yang akan di ekspor tidak dikenakan PPN karena akan dikenakan PPN di Negara tujuan.
g.  Tidak menimbulkan dampak pengenaan pajak berganda.

2.  KelebihanPPN
Adapun kelebihan PPN, yaitu:
a.  Mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda
b.  Netral dalam perdagangan local dan internasional
c.   PPN atas perolehan barang modal dapat diperoleh kembali pada bulan perolehan
d.  Ditinjau dari besar pendapatan Negara, PPN mendapat predikat sebagai money maker. Karena konsumen selaku pemikul beban pajak tidak merasa terbebani oleh pajak tersebut sehingga memudahkan fiskus untuk memungutnya.
3.  KelemahanPPN
Adapun Kelemahan yang dimiliki PPN, yaitu:
a.  Biaya administrasi relative tinggi bila dibandingkan dengan pajak tidak langsung lainnya, baik di pihak administrasi pajak maupun di pihak wajib pajak
b.  Menimbulkan dampak regresif, yaitu semakin tinggi tingkat kemampuan konsumen, semakin ringan beban pajak yang dipikul
c.   PPN sangat rawan dari upaya penyelundupan pajak
d.  PPN menuntut tingkat pengawasan yang lebih cermat oleh administrasi pajak terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.

C.        Objek Pajak Pertambahan Nilai
Dalam bukunya yang berjudul “Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang mewah” (2002:15), Gustian Djuanda menjelaskan PPN dikenakan atas beberapa hal yang terdapat dalam pasal 4 UU Tahun 2009, yang diantaranya adalah sebagai berikut:
1.  Penyerahan BKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak. Syarat-syaratnya adalah :
a.       Barang berwujud yang diserahkan merupakan BKP
b.      Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan BKP tidak berwujud
c.       Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean
d.      Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.
2.  Impor BKP; Pajak juga dipungut pada saat impor Barang Kena Pajak.Pemungutan dilakukan melalui Direktorat Jendral Bea dan Cukai.
3.  Penyerahan JKP yang dilakukan di dalam DaerahPabean oleh pengusaha Kena Pajak. Syarat-syaratnya adalah :
a.       Jasa yang diserahkan merupakan JKP
b.      Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean
c.       Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya
Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
4.   Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
5.   Ekspor BKP oleh Pengusaha Kena Pajak
6.  Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri dan digunakan pihak lain
7. Penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjual belikan (bukan inventory) oleh PKP, sepanjang Pajak Masukan yang dibayar pada saat peerolehannya menurut ketentuan dapat dikreditkan.

D.      Barang Kena Pajak dan Pengecualiannya
Dalam bukunya yang berjudul “Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang mewah” (2011:10), Gustian Djuanda menjelaskanbahwa Barang adalahbarang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang kena pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.
Pada dasarnya semua barang adalah BKP, kecuali UU menetapkan sebaliknya. Jenis barang yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dengan PP didasarkan atas kelompok-kelompok barang sebagai berikut:
a.   Barang hasil pertambangan, penggalian, dan pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, seperti:
1)    Minyak mentah (crude oil)
2)    Gas bumi
3)    Panas bumi
4)    Pasir dan kerikil
5)    Batu bara sebelum diproses menjadi briket batu bara
6)    Biji besi, biji timah, biji tembaga, biji nikel dan biji perak serta biji bauksit.
b.   Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, seperti:
1)  Beras
2)  Gabah
3)  Jagung
4)  Sagu
5)  Kedelai
6)  Garam baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium
c. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, tidak termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau catering.
d.   Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga (saham, obligasi, dan lainnya)

E.      Jasa Kena Pajak dan Pengecualiannya
Dalam bukunya yang berjudul “Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang mewah” (2011:13), Gustian Djuanda menjelaskanJasa Kena Pajak (JKP) adalah setiap kegiatan pelayanan berdasaarkan suatu perilaku perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan atas petunjuk dari pemesanan yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN.
Pada dasarnya semua jasa dikenakan pajak, kecuali yang ditentukan lain oleh UU PPN jenis jasa yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dengan PP didasarkan atas kelompok-kelompok jasa sebagai berikut:
a.       Jasa di bidang pelayanan kesehatan medic
b.      Jasa di bidang pelayanan social
c.       Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko
d.      Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi
e.       Jasa di bidang keagamaan
f.       Jasa di bidang pendidikan
g.      Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang tidak dikenakan pajak tontonan termasuk jasa di bidang kesenian yang tidak bersifat komersial, seperti : pementasan kesenian tradisional yang diselenggarakan secara cuma-Cuma
h.      Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan, seperti: penyiaran radio dan televisi yang dilakukan oleh instansi pemerintah dan swasta yang bukan bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial
i.        Jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air, seperti: jasa angkutan umum di darat, di laut, di danau, dan di sungai yang dilakukan oleh Pemerintah atau Swasta
j.        Jasa di bidang tenaga kerja
k.      Jasa di bidang perhotelan
l.        Jasa disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum, meliputi jasa-jasa yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah, seperti: pemberian Izin Mendirikan Bangunan, Pemberian Izin Usaha Perdagangan, pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, Pembuatan Kartu Tanda Penduduk.

F.       Penyerahan Barang dan Jasa Kena Pajak
Penyerahan Barang Kena Pajak, yaitu:
a.       Penyerahan hak atas BKP Karena suatu perjanjian
b.      Pengalihan BKP oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan perjanjian leasing
c.       Penyerahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang
d.      Pemakaian sendiri atau pemberian cuma-Cuma atas BKP
e.       Persediaan BKP dan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjual belikan, yang masih tersisa kepada pembubaran perusahaan, sepanjang PPN atas peroleh aktiva tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan
f.       Penyerahan BKP dari pusat kecabang atausebaliknya dan penyerahan BKP antar cabang
g.      Penyerahan BKP secara konsinyasi
Catatan:
1)  Pemakaian sendiri adalah pemakaian untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawannya, baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri.
2)  Pemberian Cuma-Cuma adalah pemberian yang diberikan tanpa pembayaran baik barang-barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri.
Sedangkan penyerahan barang yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan BKP adalah:
a.    Penyerahan BKP kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam kitab undang-undang Hukum Dagang.
b.   Penyerahan BKP untuk jaminan piutang
c.    Penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan penyerahan BKP antar cabang dalam hal pengusaha kena pajak memperoleh ijin pemutusan tempat pajak terutang.
Penyerahan jasa kena pajak adalah:
Apabila dirinci, pengertian penyerahan jasa kena pajak adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan/perbuatan hukum:
a.    Yang menyebabkan suatu barang/ fasilitas/ kemudahan kas tersedia:
1)      Untuk dipakai pihak lain dengan maksud memperoleh penggantian sebagai imbalan.
2)      Untuk dipakai pihak lain tanpa ada maksud memperoleh imbalan (pemberian jasa kena pajak dengan Cuma-Cuma).
3)      Untuk kepentingan sendiri (pemakaian sendiri jasa kena pajak)
b.    Yang dilakukan atas dasar pesanan untuk menghasilkan barang karena pesanan/permintaan dengan bahan atas petunjuk dari pemesan


G. Saat Terutangnya PPN dan Tata Cara Faktur Pajak
a. Saat Pajak Terutang.
Untuk menentukan saat PKP melaksanakan kewajiban membayar pajak, penentuan saat pajak terutang menjadi sangat relevan. Tanpa diketahui saat pajak terutang, tidak mungkin ditentukan bilamana PKP wajib memenuhi kewajiban melunasi utang pajaknya.
Untuk menentukan saat pajak terutang sangat erat kaitannya dengan penentuan saat tim-bulnya utang pajak. Sebagai pajak objektif, PPN menganut ajaran materiil timbulnya utang pajak yaitu utang pajak timbul karena undang-undang. Dengan kata lain dapat di-rumuskan bahwa utang pajak timbul karena adanya tatbestand yang diatur dalam undang-undang, yaitu sejak adanya suatu ke-adaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak. Dengan rumusan yang lebih sederhana, dapat ditentukan bahwa utang PPN mulai timbul sejak adanya objek pajak. Ajaran materiil timbulnya utang pajak dianut oleh suatu jenis pajak yang mekanisme pemungutan pajak-nya menggunakan self assessment system. Mekanisme pemungutan PPN menggunakan sistem ini, sehingga timbulnya utang pajak ditentukan berdasarkan ajaran materiil.
Dari ketentuan Pasal 11 UU PPN 1984 dapat disimpulkan bahwa pajak terutang:
1) pada saat penyerahan BKP atau JKP
2) pada saat impor BKP
3) pada saat dimulai pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
4) pada saat pembayaran dalam hal :
a) pembayaran diterima sebelum penyerahan BKP atau JKP
b) pembayaran dilakukan sebelum dimulai pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
5) pada saat lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
b. Tempat Pajak Terutang
Berdasarkan Pasal 12 UU PPN 1984 ditetapkan bahwa pajak terutang di :
1) tempat tinggal atau tempat kedudukan ; dan
2) tempat kegiatan usaha dilakukan, atau
3) tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak ;
4) tempat BKP dimasukkan, dalam hal impor ;
5) tempat orang pribadi atau badan terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam hal pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean ; atau
6) satu tempat atau lebih yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai tempat pemusatan pajak terutang atas permohonan tertulis dari Pengusaha Kena Pajak.
Ketentuan Pasal 12 UU PPN 1984 tersebut kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000, yang menetapkan bahwa :
1) Tempat pajak terutang untuk Penyerahan di dalam Daerah Pabean.
Pajak terutang di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha dilakukan, yaitu di tempat pengusaha dikukuhkan atau seharusnya dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
2) Tempat pajak terutang untuk impor BKP adalah ditempat BKP dimasukkan ke dalam Daerah Pabean.
3) Tempat pajak terutang untuk pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam daerah Pabean adalah di tempat orang pribadi atau badan yang memanfaatkan, terdaftar sebagai Wajib Pajak.
4) Tempat pajak terutang untuk kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak di dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan adalah di tempat bangunan didirikan.
5) Tempat pajak terutang bagi PKP yang dikukuhkan di KPP Wajib Pajak Besar, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-335/PJ/2002 tanggal 1 Juli 2002 dipusatkan di KPP Wajib Pajak Besar yang menerbitkan surat pengukuhan.
6) Tempat pajak terutang ditentukan lain oleh Direktur Jenderal Pajak atas permintaan tertulis dari wajib pajak atau secara jabatan.

Saat Pembuatan Faktur Pajak

Banyak yang bilang, Faktur Pajak merupakan ruh dari PPN di Indonesia. Setiap transaksi atau kegiatan yang terutang PPN, harus dibuatkan Faktur Pajaknya. Namun meski begitu, Faktur Pajak tidak boleh dibuat (baca: diterbitkan) dalam sembarang waktu. Terlambat menerbitkan Faktur Pajak, penerbit bisa kena sanksi denda. Sedangkan terburu-buru menerbitkan Faktur Pajak, penerima bisa dikoreksi karena Faktur Pajak dianggap prematur. Dalam artikel ini, akan dibahas soal waktu atau saat yang tepat untuk menerbitkan Faktur Pajak.
Dasar hukum yang saat ini digunakan sebagai penentu penerbitan Faktur Pajak adalah Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012. Ketentuan yang ada dalam PP ini sebenarnya sama persis dengan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-50/PJ/2011 tanggal 3 Agustus 2011. Tetapi dengan adanya ketentuan yang tegas yang diatur dalam peraturan setingkat PP, ini tentunya bisa memberikan kepastian hukum yang jelas bagi para pelaku bisnis khususnya mereka yang sudah menjadi PKP.



Ketentuan Umum Faktur Pajak
Seperti sudah diketahui, bila kita sudah dikukuhkan menjadi PKP (Pengusaha Kena Pajak), maka kita diwajibkan untuk membuat Faktur Pajak atas setiap transaksi atau kegiatan penyerahan BKP maupun JKP baik penyerahan secara lokal atau ekspor. Kewajiban membuat Faktur Pajak ini tetap berlaku (harus kita lakukan) meskipun misalnya terhadap penyerahan BKP atau JKP tersebut mendapat fasilitas PPN Tidak Dipungut maupun PPN Dibebaskan.
Pembuatan (baca: penerbitan) Faktur Pajak tersebut harus kita lakukan tepat waktu sesuai dengan ketentuan dan peraturan perpajakan. UU perpajakan, khususnya UU KUP, tidak mentolerir keterlambatan pembuatan Faktur Pajak. Setiap keterlambatan penerbitan Faktur Pajak, meski hanya sehari saja, bisa mengakibatkan kita sebagai penerbit Faktur Pajak, dikenakan sanksi denda keterlambatan penerbitan Faktur Pajak.
Dendanya pun tidak sedikit. 2% dari DPP yang tercantum dalam Faktur Pajak yang terlambat diterbitkan tersebut. Jadi misalnya kita membuat Faktur Pajak untuk penyerahan BKP dengan harga jual Rp 10.000.000,00 tanpa diskon dan uang muka atau termin, kita bisa kena sanksi denda 2% dari Rp 10.000.000,00 = Rp 200.000,00. Itu kalau DPP-nya Rp 10.000.000,00. Coba kita bayangkan terhadap transaksi penyerahan BKP tertentu yang harganya hingga ratusan juta rupiah, misalnya alat-alat rumah sakit, konstruksi, dlsb. Tentu sanksinya akan lebih besar lagi. Oleh karena itulah, kita sebagai PKP harus betul-betul memahami saat pembuatan (penerbitan) Faktur Pajak ini.

Identifikasi Saat Terutang PPN
Untuk mengetahui kapan Faktur Pajak harus diterbitkan, PKP harus memahami terlebih dahulu mengenai kapan saat terutangnya PPN. Sebab prinsipnya Faktur Pajak itu harus diterbitkan pada saat terutangnya PPN. Sementara itu, saat terutangnya PPN itu ternyata juga sangat ditentukan oleh kapan saat penyerahan BKP dilakukan. Jadi bisa dikatakan bahwa PKP harus memahami terlebih dahulu kapan saat penyerahan BKP/JKP karena saat penyerahan BKP/JKP itu merupakan saat terutangnya PPN dan sekaligus menjadi penentuan saat pembuatan Faktur Pajak.
 “Saat Penyerahan atau Ekspor BKP/JKP merupakan Saat Terutangnya PPN dan sekaligus merupakan Saat Pembuatan Faktur Pajak”
Seperti ditegaskan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2012, Faktur Pajak harus diterbitkan pada saat penyerahan atau ekspor BKP/JKP yang disebutkan dalam Pasal 17 PP tersebut. Sementara di Pasal 17 dan memori penjelasannya, PP tersebut menyatakan bahwa saat penyerahan atau ekspor BKP/JKP merupakan saat terutangnya PPN. Jadi dari kalimat tersebut bisa kita simpulkan bahwa Faktur Pajak harus dibuat pada saat terutangnya PPN yaitu pada saat penyerahan BKP/JKP atau pada saat ekspor BKP/JKP.
Berikut ini akan diuraikan dan dijelaskan mengenai pengertian saat penyerahan BKP maupun JKP dan saat terutangnya PPN untuk penyerahan BKP dan JKP tersebut sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 17 dan Pasal 19 PP Nomor 1 Tahun 2012. Dan berhubung panjangnya penjelasan tersebut, maka artikel ini terpaksa dibagi menjadi beberapa tulisan bersambung.

Penyerahan BKP Berwujud Bergerak
Seperti sudah diketahui, dalam Pasal 1A UU PPN dikatakan bahwa kata ‘penyerahan Barang Kena Pajak’ meliputi hampir seluruh bentuk penyerahan yang mengakibatkan perpindahan hak atau penguasaan atas Barang Kena Pajak (BKP) tersebut. Jadi bukan semata-mata hanya dalam konteks penjualan barang. Misalnya penyerahan BKP dalam konteks pemberian cuma-cuma, sumbangan, pemakaian sendiri, dan beberapa jenis penyerahan barang yang dilakukan tidak dalam konteks penjualan, ternyata juga termasuk dalam pengertian penyerahan BKP.
Dari penegasan dan penjelasan Pasal 1A UU PPN tadi, berarti dapat disimpulkan bahwa transaksi atau kegiatan penyerahan BKP itu nantinya akan ada yang memunculkan akun Penjualan atau Piutang dan ada pula transaksi atau kegiatan penyerahan BKP yang tidak memunculkan akun Penjualan maupun Piutang.
Penyerahan barang yang nantinya akan menimbulkan akun Penjualan dan akun Piutang misalnya terjadi dalam konteks atau transaksi penjualan baik penjualan tunai maupun penjualan kredit. Sedangkan penyerahan barang yang tidak menimbulkan akun Penjualan atau Piutang misalnya terjadi dalam konteks bukan penjualan seperti pemberian cuma-cuma, penyerahan antar cabang, pemakaian sendiri, sumbangan, dan lain sebagainya yang bukan merupakan transaksi penjualan.
Perbedaan kriteria terhadap kedua jenis atau bentuk penyerahan BKP tadi, menurut Pasal 17 dan Pasal 19 PP Nomor 1 Tahun 2012, ternyata menimbulkan perbedaan terhadap penentuan saat terutang maupun penerbitan Faktur Pajaknya. Dan seperti yang dijelaskan dalam PP Nomor 1 Tahun 2012 tersebut, saat pembuatan Faktur Pajak untuk masing-masing kelompok penyerahan BKP adalah sebagai berikut:
  • Penyerahan BKP yang Bukan Merupakan Penjualan
Seperti disebutkan oleh Pasal 1A ayat (1) UU PPN, penyerahan BKP yang pada prinsipnya bukan merupakan penjualan (sales) misalnya transaksi/kegiatan penyerahan BKP antar cabang, pemberian cuma-cuma, pemakaian sendiri, sumbangan, penyerahan dalam rangka konsinyasi, dan lain sebagainya.
Untuk kegiatan atau transaksi penyerahan BKP yang bukan merupakan penjualan sehingga tidak akan memunculkan akun Penjualan (sales) atau Piutang (Account Receivables), yang ditentukan sebagai saat penyerahan BKP adalah pada saat BKP itu secara nyata diserahkan kepada penerima BKP baik secara langsung atau tidak langsung.
Jika BKP diserahkan kepada penerima secara tidak langsung, misalnya dikirimkan melalui perusahaan jasa pengiriman barang atau perusahaan ekspedisi, maka untuk menentukan timing atau saat penyerahan BKP dalam transaksi atau kegiatan ini, PKP bisa mendasarkan pada tanggal pengiriman BKP (delivery order/DO). Artinya, dalam hal ini tanggal Faktur Pajak harus sama dengan tanggal DO.
Misalnya PT ABC di Jakarta menyerahkan BKP kepada cabangnya di Surabaya. Penyerahan dilakukan melalui jasa pengiriman barang (perusahaan ekspedisi) pada tanggal 13 Desember 2012 sesuai dengan tanggal DO. Sementara BKP tersebut diterima oleh cabangnya di Surabaya pada tanggal 14 Desember 2012. Dalam hal ini PT ABC harus menerbitkan Faktur Pajak pada tanggal 13 Desember 2012 (tanggal yang dicantumkan di Faktur Pajak harus 13 Desember 2012).
Tetapi jika BKP diserahkan dan diterima secara langsung oleh penerima BKP, misalnya dalam kegiatan pemberian sampel di mal atau pusat perbelanjaan, sumbangan, hibah, dlsb, maka yang menjadi saat penyerahan BKP adalah saat BKP itu diserahkan dan diterima secara langsung oleh penerima sampel atau sumbangan. Jadi Faktur Pajak harus dibuat pada tanggal terjadinya penyerahan BKP tersebut. PKP dalam hal ini juga bisa mendasarkan pada tanggal saat BKP (yang akan diberikan sebagai sampel atau sumbangan) tersebut dikeluarkan dari kartu inventory stock.


  • Penyerahan BKP yang Merupakan Penjualan
Untuk kegiatan atau transaksi penjualan BKP, yang nantinya akan memunculkan akun Penjualan atau Piutang dalam jurnal pembukuan PKP, pada prinsipnya sama seperti di atas yaitu pada saat penyerahan BKP dilakukan.
Akan tetapi, seperti dijelaskan oleh Pasal 19 ayat (1) PP Nomor 1 Tahun 2012 tersebut, PKP bisa juga mendasarkan penerbitan Faktur Pajaknya pada tanggal invoice atau faktur penjualan atau pada tanggal saat Penjualan (sales) dan Piutang (account receivables) dicatat dalam jurnal. Ini, kata memori penjelasan pasal tersebut, untuk memudahkan PKP dalam merekonsiliasi omset dan penjualan antara SPT Tahunan PPh dan SPT Masa PPN.
Misalnya PT ABC di Jakarta menjual BKP kepada pembelinya yang berlokasi di Medan, Sumatera Utara. Sesuai tanggal DO, BKP itu dikirim melalui perusahaan jasa ekspedisi pada tanggal 13 Desember 2012 dan biasanya baru akan diterima oleh pembeli pada tanggal 15 Desember 2012. Setelah menerima konfirmasi bahwa pada tanggal 15 Desember 2012 barang sudah diterima oleh pembeli, PT ABC kemudian membuat tagihan, invoice atau faktur penjualan dan mencatatnya sebagai Penjualan atau Piutang Penjualan pada tanggal 16 Desember 2012.
Dalam contoh di atas, PT ABC bisa membuat Faktur Pajak sesuai dengan tanggal DO (13 Desember 2012), atau pada tanggal konfirmasi (15 Desember 2012), atau pada tanggal pembuatan invoice atau faktur penjualan (16 Desember 2012). Akan tetapi jika sebelum tanggal-tanggal itu PT ABC sudah menerima pembayaran dari pembelinya (misalnya pembayaran uang muka atau pelunasan), maka Faktur Pajak harus dibuat pada saat diterimanya pembayaran uang muka atau pelunasan tersebut.

Penyerahan BKP Berwujud Tidak Bergerak
BKP yang dimaksud dalam konteks ini adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya merupakan barang tidak bergerak seperti tanah dan bangunan. Selain itu, kata “...yang menurut...sifat atau hukumnya merupakan barang tidak bergerak...” tersebut mengandung makna bahwa ada barang-barang lainnya yang menurut ketentuan dan peraturan perundangan yang berlaku ditetapkan sebagai barang tidak bergerak, seperti misalnya kapal laut dengan ukuran tonase tertentu. Terkait dengan penyerahan BKP berwujud yang sifatnya berupa barang tidak bergerak, UU PPN dan PP Nomor 1 Tahun 2012 tadi menganut prinsip yang agak unik dan berbeda dengan kebiasaan yang lazim terjadi di praktik.
Menurut Pasal 17 ayat (3) huruf b PP Nomor 1 Tahun 2012, penyerahan BKP berwujud tidak bergerak terjadi pada saat penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai BKP tersebut dilakukan baik secara nyata ataupun secara hukum, kepada pihak pembeli. Selanjutnya dalam memori penjelasan Pasal 19 ayat (1), yang khusus berbicara mengenai pembuatan Faktur Pajaknya, PP Nomor 1 Tahun 2012 ini memberikan tiga buah ilustrasi kasus seperti berikut:
  1. Contoh 1: Perjanjian jual beli sebuah rumah ditandatangani tanggal 1 Mei 2011. Perjanjian penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai rumah tersebut dibuat atau ditandatangani tanggal 1 September 2011. Faktur Pajak harus dibuat pada tanggal 1 September 2011. Bila sebelum surat atau akta tersebut dibuat atau ditandatangani barang tidak bergerak telah diserahkan atau berada dalam penguasaan pembeli atau penerimanya, maka Faktur Pajak harus diterbitkan pada saat barang tersebut secara nyata diserahkan atau berada dalam penguasaan pembeli atau penerima barang.
  2. Contoh 2: Rumah siap pakai dijual dan diserahkan secara nyata tanggal 1 Agustus 2011. Faktur Pajak harus diterbitkan pada tanggal 1 Agustus 2011. Bila sebelum surat atau akte tersebut dibuat atau ditandatangani, barang tidak bergerak telah diserahkan atau berada dalam penguasaan pembeli atau penerimanya, maka Faktur Pajak harus dibuat pada saat barang tersebut secara nyata diserahkan atau berada dalam penguasaan pembeli atau penerima barang.
  3. Contoh 3: Rumah siap pakai dijual dan diserahkan secara nyata tanggal 1 Agustus 2011. Perjanjian jual beli ditandatangani tanggal 1 September 2011. Faktur Pajak harus diterbitkan pada tanggal 1 Agustus 2011.
Dalam ketiga contoh tersebut, selalu ada kalimat “...barang diserahkan secara nyata...” atau “...berada dalam penguasaan pembeli atau penerima...”. Dalam konteks serah terima BKP berupa rumah atau bangunan misalnya, kalimat tersebut mengacu pada peristiwa penyerahan kunci rumah atau bangunan tersebut. Sebab dengan diserahkannya kunci rumah, maka pembeli atau penerima rumah/bangunan sudah dianggap menguasai rumah tersebut.
Dengan demikian, maka bisa dikatakan bahwa Faktur Pajak untuk sebuah transaksi/kegiatan penyerahan BKP berupa rumah/bangunan atau tanah, harus dibuat pada saat kunci rumah/bangunan tersebut kita serahkan kepada pembeli atau penerima rumah/bangunan. Akan tetapi, sekali lagi, jika sebelum kunci rumah/bangunan diserahkan, kita sudah menerima pembayaran dari pembeli atau penerima, maka Faktur Pajak atas pembayaran tersebut harus kita buat pada saat pembayaran kita terima.

BKP yang Tersisa Pada Saat Pembubaran Perusahaan
Jika sebuah usaha atau perusahaan dibubarkan, biasanya akan ada barang-barang yang masih tersisa baik yang berupa barang dagangan maupun barang yang bukan merupakan barang dagangan (seperti inventaris kantor, gedung kantor, aktiva tetap lainnya, dlsb).
Jika barang-barang itu dijual (dilikuidasi), maka tata cara pembuatan Faktur Pajaknya sama seperti yang dijelaskan di atas. Tetapi jika barang-barang itu tidak laku terjual, maka UU PPN menganggap bahwa telah terjadi pemakaian sendiri atau pemberian cuma-cuma terhadap barang-barang tersebut. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1A ayat (1) huruf e UU PPN. Dengan demikian, terhadap barang-barang sisa yang tidak laku terjual ini tetap harus dibuatkan Faktur Pajak karena dianggap dipakai sendiri atau diberikan secara cuma-cuma kepada pihak internal perusahaan maupun pihak eksternal.
Tetapi jika seandainya kita bisa membuktikan bahwa barang-barang sisa tersebut tidak laku terjual dan tidak pula diberikan secara gratis kepada pihak lain, maka terhadap barang-barang sisa tersebut tidak terutang PPN dan tidak perlu dibuatkan Faktur Pajaknya. Jika misalnya barang sisa tersebut memang sudah usang dan tidak bisa terpakai lagi, sehingga barang tersebut dimusnahkan (misalnya dibakar), maka kita harus menyiapkan dokumen-dokumen terkait dengan pemusnahan barang sisa tersebut. Misalnya dokumen berita acara pemusnahan barang, foto-foto terkait dengan pemusnahan tersebut, dan lain sebagainya.

H. Tata Cara Pembayaran dan Pelaporan PPN/PPnBm
  1. Yang wajib menyetor/membayar dan melaporkan PPN/PPnBM yaitu ;
    1. Pengusaha Kena Pajak (PKP)
    2. Pemungut PPN/PPnBM adalah  :
  • KPKN
  • Bendahara Pemerintah Pusat dan Daerah
  • Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
  • Pertamina
  • BUMN/BUMD
  • Kontraktor Bagi Hasil dan Kontrak Karya Bidang Migas dan Pertambangan Umum lainnya
  • Bank Pemerintah
  • Bank Pembangunan Daerah
Hal yang disetor oleh PKP dan pemungut PPN/PPnBm yaitu :
1.      Oleh PKP yaitu PPN yang dihitung sendiri melalui perkreditan Pajak Masukan Pajak Keluaran. Yang disetor  adalah selisih Pajak Masukan dan Pajak Keluaran bila Pajak Masukan lebih kecil dari Pajak Keluaran. PPnBM yang dipungut olehb PKP Pabrikan Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah. PPnBM yang ditetapkan oleh DJP dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Tagihan Pajak (STP).
2.      Oleh pemungut PPN/PPnBM adalah PPN/PPnBM yang dipungut oleh Pemungut PPN/PPnBM. 
Waktu pembayaran/penyetoran PPN/PPnBM yaitu :
  1. PPN/PPnBM yang dihitung sendiri oleh PKP harus disetorkan paling lambat tanggal 15 bulan takwim berikutnya setelah bulan Masa Pajak. Contoh : Masa Pajak Januari 1996, penyetoran paling lambat tanggal 15 februari 1996.
  2. PPN/PPnBM yang tercantum dalam SKPKB,SKPKBT,dan STP harus dibayar atau disetor sesuai batas waktu yang telah tercantum dalam SKPKB,SKPKBT dan STP tersebut.
  3. PPN/PPnBM atas impor harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk dan apabila pembayaran Bea masuk ditunda/dibebaskan,harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen.
  4. PPN/PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh :
  • Bendaharawan Pemerintah, harus selambat-lambatnya 15 takwim berikutnya setelah masa pajak berakhir.
  • Pemungut PPN selain Bendaharawan Pemerintah, harus disetor selambat-lambatnya tanggal 15 bulan takwim berikutnya setelah masa pajak berakhir.
  • Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang memungut PPn/PPnBm atas impor,harus menyetor dalam jangka waktu sehari setelah pemhngutan pajak dilakukan.
  • PPN dari penyerahan gula pasir dan tepung terigu oleh Badan Urusan Logistic (BULOG), harus dilunasi oleh PKP sebelum surat Perintah Pengeluaran Barang ditebus.

Apabila tanggal jatuh tempo pembayaran jatuh pada hari libur maka pembayaran harus dilaksanakan pada hari kerja berikutnya.
  1. Waktu pelaporan pajak yaitu sebagai berikut :
    1. PPN dan PPnBM yang dihitung oleh sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam SPT Masa dan disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak setempat paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
    2. PPN dan PPnBM yang tercantum dalam  SKPKB,SKPKBPT dan STP yang telah dilunasi segera dilaporkan ke KPP yang menerbitkan.
    3. PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakuakan oleh :
  • Bendaharawan Pemerintah harus dilaporkan selambat-lambatnya 14 hari setelah Masa Pajak berakhir.
  • Pemungut Pajak Pertambahan Nilai selain Bendaharawan Pemerintah harus dilaporkan selambat-lambatnya 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
  • Direktorat Jenderal Bea dan Cukai harus dilaporkan secara mingguan selambat-lambatnya 7 hari setelah batas waktu penyetoran pajak berakhir.
  • Untuk penyerahan gula pasir dan tepung terigu oleg BULOG maka PPN dan PPnBM dihitung sendiri oleh PKP garus dilaporkan SPT Masa dan disampaikan pada KPP setempat selambat-lambatnya 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.

Apabila tanggal jatuh tempo pelaporan jatuh pada hari libur, maka pelaporan harus dilaksanakan pada hari kerja sebelum tanggal jatuh tempo.
Sarana yang digunakan untuk pembayaran/penyetoran pajak yaitu untuk membayar/menyetor PPN dan PPnBM digunakan formulir surat setoran pajak yang tersedia gratis di kantor Pelayanan Pajak dan Kantor Penyuluhan Pajak di seluruh Indonesia. Surat Setoran pajak menjadi lengkap dan sah bila jumlah PPN/PPnBM yang disetorkan telah diberi teraan oleh : Bank, Kantor Pos dan Giro atau Kantor Direktorat Jendral Bea dan Cukai penerima setoran.

 I.    Tarif Pajak Dan Cara Menghitung PPN/PPnBM
Tarif PPN adalah 10 % sedangkan tarif PPnBM adalah serendah-rendahnya 10% dan setinggi-tingginya 50%.Perbedaan kelompok tarif tersebut didasarkan pada pengelompokan Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah yang atas penyerahan/ impor BKP-nya dikenakan PPnBm. Tarif PPN/PPnBM atas ekspor BKP adalah 0%.
Yang termasuk DPP :
  1. Harga Jual/Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual/pembeli jasa karena penyerahan BKP/JKP, tidak termasuk pajak PPN/PPnBM dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
  2. Nilai Inpor adalah nilai berupa uangb yang menjadi dasar perhitungan Bea Masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan perundang-undangan Pabean untuk Impor BKP,tidak termasuk PPN/PPnBM.
  3. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta oleh Eksportir.
  4. Nilai lain adalah nilai yang ditetapkan oelh menteri keuangan yang dipakai senbagai dasar untk menghitung pajak yang terutang. Nilai lain yang diatur oleh Keputusan Menteri Keuangan Nomor :624/KMK.04/1994 tanggal 29 desember 1994 :
    1. Untuk pemakaian sendiri/pemberian Cuma-Cuma BKP dan/atau JKP adalah harga jual atau penggantian, tidak termasuk laba kotor.
    2. Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga jual rata-rata.
    3. Untuk penyerahan film cerita adalah perkitaan hasil rata-rata per-judul film.
    4. Untuk persediaan BKP yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan adalah harga pasar wajar.
    5. Tujuan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan adalah harga pasar wajar.
    6. Untuk penyerahan jasa biro perjalanan/pariwisata adalah 10% dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.
    7. Untuk jasa pengiriman paket adalah 10% dari jumlah tagihan atau dari jumlah yang seharusnya ditagih.
    8. Untuk PKP Pedagang Eceran (PE) :
  • PPN yang terutang adalah sebesar 10% x harga jual BKP
  • PPN yang harus dibayar adalah sebesar : 10% x 20% x jumlah seluruh barang dagangan.

J.        Subjek Pajak
Dari ketentuan yang mengatur tentang objek PPN dalam pasal 4, 16C, dan 16D UU 1984 dapat diketahui bahwa subjek PPN dapat di kelompokkan menjadi dua, yaitu:
a.    Pengusaha Kena Pajak
Ketentuan yang mengatur bahwa subjek PPN harus pengusaha kena pajak adalah pasal 4 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf f serta pasal 16D diubah menjadi 1 pasal angka 15 UU PPN 1984 diubah lagi menjadi pasal peraturan pemerintah nomor 143 tahun 2000.
Dari pasal-pasal ini dapat diketahui bahwa:
1)      Yang melakukan penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak yang dapat dikenakan PPN adalah pengusaha kena pajak (pasal 4 huruf a dan huruf c jo pasal 1 angka 15 UU PPN 1984 jo pasal  2 ayat 1 PP nomor 143 tahun 2000).
2)      Yang mengekspor barang kena pajak yang dapat di kenakan PPN adalah pengusaha kena pajak (pasal 4 huruf f UU PPN 1984).
3)      Yang menyerahkan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan adalah pengusaha kena pajak (pasal 16D UU PPN 1984).
4)      Bentuk kerja sama operasi yang apabila menyerahkan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak dikenakan PPN adalah pengusaha kena pajak (pasal 2 ayat 2 PP nomor 143 tahun 2000).
b.    Bukan Pengusaha kena pajak
Subjek PPN tidak harus pengusaha kena pajak, tetapi bukan pengusaha kena pajak pun dapat menjadi subjek PPN sebagaimana diatur  dalam pasal 4 huruf b, huruf d, dan huruf e serta pasal 16C UU PPN 1984.
Berdasarkan pasal-pasal ini diketahui bahwa dapat dikenakan PPN :
1)          Siapapun yang mengimpor Barang Kena Pajak (Pasal 4 huruf b UU PPN 984)
2)          Siapapun yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari luar daerah Pabean di dalam Daerah Pabean (Pasal 4 huruf d dan huruf e PPN 1984)
3)          Siapapun yang membangun sendiri tidak dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya (pasal 16 C UU PPN 1984)

Menurut Waluyo dalam bukunya “perpajakan indonesia” (2006:13) menjelaskan bahwa terdapat 2 jenis tarif pajak pertambahan nilai yang dapat digunakan, yaitu :
1)          Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen)
2)          Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:
a)  Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud
b)  Ekspor Barang Kena Pajak Tidaka Berwujud
c)  Ekspor Jasa Kena Pajak

·         Dasar Pengenaan Pajak
Dasar pengenaan pajak merupakan nilai berupa uang yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung yang terutang. Formula perhitungan pajak dapat dirumuskan sebagai berikut :
Yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak adalah sebagai berikut:
              Pajakyang terutang = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak
1)  Harga Jual
2)  Penggantian
3)  Nilai Impor
4)  Nilai Ekspor
5)  Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan
L. Saat dan Tempat Pajak Terutang
a.    Saat Pajak Terutang
Saat terutangnya PPN diatur dalam Pasal 11 Undang-undang PPN. Pemungutan PPN menganut prinsip aktual, artinya terutangnya pajak terjadi pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau pada saat penyerahan Jasa Kena Pajak, meskipun pembayaran atas penyerahan tersebut belum diterima atau belum sepenuhnya diterima, atau pada saat impor Barang Kena Pajak.
Saat terutangnya pajak untuk transaksi yang dilakukan melalui “electronic commerce” juga tunduk pada ketentuan ini. Terutangnya pajak terjadi pada saat:
1)  Penyerahan Barang Kena Pajak
2)  Impor Barang Kena Pajak
3)  Penyerahan Jasa Kena Pajak
4)  Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari Luar Daerah Pabean
5)  Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean
6)  Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud
7)  Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
8)  Ekspor Jasa Kena Pajak
b.    Tempat Pajak Terutang
Tempat terutangnya PPN diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang PPN. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan:
1)    Penyerahan Barang Kena Pajak
2)    Penyerahan Jasa Kena Pajak
3)    Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud
4)    Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
5)    Ekspor Jasa Kena Pajak

Terutangnya pajak ditempat tinggal atau tempat kedudukan dana atau tempat kegiatan usaha dilakukan atau tempat lain selain tempat tinggal atau tempat kedudukan dan atau tempat kegiatan usaha yang dilakukan dan diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Atas pemberitahuan secara tertulis dari pengusaha kena pajak, direktur jenderal Pajak dapat menetapkan 1 (Satu) tempat atau lebih sebagai tempat pajak terutang.
Dalam hal impor, terutangnya pajak terjadi di tempat Barang Kena Pajak dimasukkan dan dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Orang pribadi atau Badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean didalam Daerah Pabean terutang pajak ditempat tinggal atau tempat kedudukan dan atau tempat kegiatan usaha.

M.   Pajak Masukan
Pajak masukan adalah PPN yang telah dipungut oleh PKP pada saat pembelian barang atau jasa kena pajak dalam masa pajak tertentu.Pajak masukan dijadikan kredit pajak oleh PKP untuk memperhitungkan sisa pajak yang terutang.
Karakteristik Pajak Masukan
Tata cara umum PPN adalah PKP mengkreditkan pajak masukan dalam suatu masa dengan pajak keluaran dalam masa pajak yang sama. Apabila masa pajak tersebut lebih besar pajak keluaran maka kelebihan pajak keluaran harus disetorkan ke kas negara.Sebaliknya, apabila dalam masa pajak tersebut pajak masukan lebih besar dari pajak keluaran, kelebihan pajak masukan dapat dikompensasikan ke masa pajak berikutnya. Dalam tata cara umum tersebut, jumlah yang harus dibayarkan oleh PKP berubah-ubah sesuai dengan pajak masukan yang dibayar dan pajak keluaran yang dipungut dalam suatu masa pajak.
Perbedaan Pajak Prinsip Dasar Pengkreditan Pajak Masukan
  1. Pajak Masukan dalam suatu masa pajak dikreditkan dengan pajak keluaran untuk masa pajak yang sama.
  2. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan pajak keluaran pada masa pajak yang sama, dapat dikreditkan pada masa pajak berikutnya paling lama 3 bulan setelah berakhirnya masa pajak yang bersangkutan
  3. Bagi PKP yang belum berproduksi sehingga belum melakukan penyerahan yang terutang pajak, Pajak Masukan atas perolehan atau impor barang modal dapat dikreditkan.
  4. Barang modal adalah harta berwujud yang memiliki masa manfaat lebih dari 1 tahun yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan termasuk pengeluaran yang dikapitalisasikan ke barang modal tersebut.
  5. Pajak Masukan yang dikreditkan harus menggunakan faktur pajak yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat 5 dan ayat 9.
  6. Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan BKP atau JKP harus dikreditkan dengan pajak keluaran di tempat PKP dikukuhkan.
  7. Apabila dalam masa pajak, pajak keluaran lebih besar daripada pajak masukan, selisihnya merupakan PPN yang harus disetor PKP.  Penyetoran PPN oleh PKP dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak dan sebelum surat pemberitahuan masa PPN disampaikan.  Surat pemberitahuan masa PPN disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak.
  8. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya (Pasal 9 ayat 4 UU PPN).
  9. Atas kelebihan Pajak Masukan tsb dapat diajukan permohonan pengembalian pada akhir tahun buku. Termasuk dalam pengertian akhir tahun buku dalam ketentuan ini adalah Masa Pajak saat Wajib Pajak melakukan pengakhiran usaha (bubar). (Pasal 9 ayat 4a UU PPN).
Pajak Masukan Yang Tidak Dapat Dikreditkan Berdasarkan Pasal 9 ayat 8 UU PPn atas Pengeluaran
  1. Perolehan BKP/JKP sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP. Ketentuan ini memberikan kepastian hukum bahwa Pajak Masukan yang diperoleh sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP tidak dapat dikreditkan
  2. Perolehan BKP/JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha.
  3. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan.
  4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP.
  5. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat 5 atau ayat 9 atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak.
  6. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat 6.
  7. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak.
  8. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan
  9. Perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha Kena Pajak berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat 2a.
  10. Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang tidak terutang PPN atau mendapat fasilitas PPN dibebaskan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat 5 dan pasal 16B ayat 3.

N.     Tata Cara Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak Dan Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak
Pengusaha kena pajak yang melakukan penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak
1)      Pengusaha kena pajak yang melakukan kegiatan usaha terapadu, sebagaia contoh pengusaha kena pajak yang mengjasilkan jagung (jangung bukan merupakan barang kena pajak). yang
2)      Pengusaha kena pajak yang melakukan usaha jasa yang atas penyerahannya terutang dan tidak terutang PPN, sebagai contoh pengusaha kena pajak yang bergerak dibidang perhotelan, disamping malakukan usaha jasa dibidang perhotelan, juga melakukan penyerahan jasa persewaan ruangan untuk tempat usaha.
3)      Pengusaha kena pajak yang melakukan penyerahan barang dan jasa yang atas penyerahannya terutang dan yang tidak terutang PPN.
4)      Pengusah kena pajak yang menghasilkan kena pajak yang terutang PPN dan yang dibebaskan dari pengenaan PPN.
Untuk pengusaha kena pajak yang mealakukan penyerahaan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak sebagai mana tersebut di atas, perlakukan pengkreditan pajak masukan sebagai berikut:
1)      Pajak masukan atas perolehan barang kena pajak dan jasa kena pajak yang nyata-nyaa hanya digunakan untuk kegiatan yang atas penyerahannya terutang PPN, dapat dikreditkan seluruhnya.
2)      Pajak masukan atas perolehan barang dan jasa kena pajak yang nyata-nyata hanya digunakan untuk kegiatan yang atas penyerahannya terutang pajak PPN atau mendapatkan fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN, tidak dapat dikreditkan seluruhnya.
3)      Sedangkan pajak masukan atas perolehan barang dan jasa kenak pajak  yang belum dapat dipastikan penggunaannya untuk penyerahan yang terutang pajak dan penyeraha yang tidak terutang pajak, pengkreditannya menggunaka pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan sebagai mana diatur dalam PMK ini.

O.    Fasilitas Pembebanan PPN dan PPN tidak Dipungut
Undang-Undang PPN tidak membedakan latar belakang pemberian fasilitas Tidak Dipungut dan Dibebaskan. Latar belakang keduanya tidak dipisahkan namun dijelaskan secara sekaligus dan bersama-sama, antara lain, di Penjelasan Umum dan di penjelasan Pasal 16B Undang-Undang PPN. Utamanya latar belakang pemberian fasilitas ini adalah untuk:
• Meningkatkan perwujudan keadilan dalam pembebanan pajak
• Menunjang peningkatan penanaman modal
• Mendorong peningkatan ekspor
• Menciptakan lebih banyak lapangan kerja baru
• Menunjang pelestarian lingkungan hidup
• Mendorong sektor-sektor ekonomi dengan prioritas tinggi dalam skala nasional
• Dan lain-lain
Terlihat dari latar belakang ini bahwa fasilitas diberikan untuk tujuan-tujuan yang memberikan dampak keuntungan secara nasional, bukan hanya untuk kepentingan sekelompok orang tertentu saja.
Ada satu prinsip yang harus dipegang teguh dalam pemberian fasilitas ini, yaitu harus selalu diupayakan agar terdapat perlakuan yang sama kepada Wajib Pajak atau transaksi yang pada hakekatnya sama. Artinya jangan sampai mencederai prinsip "netralitas"1 dalam PPN. Meskipun disadari - dengan kewaspadaan tinggi - bahwa setiap pemberian fasilitas sesungguhnya akan mencederai netralitas PPN. Pengecualian diberikan untuk – dan hanya untuk – mencapai tujuan-tujuan tertentu sebagaimana dimaksud dalam latar belakang pemberian fasilitas ini. Setiap penyelewengan dari tujuan pemberian fasilitas yang telah ditentukan dalam Undang-Undang, akan mengakibatkan dua kali kerugian: prinsip keadilan dan prinsip netralitas PPN yang tercederai.
Bagaimanapun, latar belakang pemberian fasilitas ini tidak dapat menjelaskan apa sebenarnya perbedaan antara fasilitas PPN Tidak Dipungut dari fasilitas PPN Dibebaskan. Latar belakang keduanya dibahas dan dijelaskan secara bersamaan tanpa batasan, sehingga kita tidak bisa memisahkan, misalnya, bahwa fasilitas PPN Tidak Dipungut diberikan untuk tujuan tertentu sementara PPN Dibebaskan diberikan untuk tujuan yang lain. Atau bisakah? Kita akan coba lihat dalam pembahasan berikutnya.
Analisis Perbedaan fasilitas PPN Tidak Dipungut dan fasilitas PPN Dibebaskan
Undang-Undang PPN hanya memberi satu clue yang bisa dipakai sebagai petunjuk untuk membedakan antara fasilitas PPN Tidak Dipungut dari fasilitas PPN Dibebaskan. Petunjuk itu adalah perbedaan perlakuan pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana disebutkan di atas.
Fasilitas PPN Tidak Dipungut
Fasilitas PPN Tidak Dipungut pada hakikatnya sama saja dengan pengenaan PPN dengan tarif 0%. Keduanya sama tidak memungut PPN dan dibolehkan mengkreditkan Pajak Masukan. Sehingga konsumen yang membeli barang atau jasa yang diberi fasilitas PPN Tidak Dipungut sama sekali tidak akan menanggung beban PPN.
Jika fasilitas PPN Tidak Dipungut diberikan sebelum pada level konsumsi akhir (yaitu pada bagian hulu dari mata rantai produksi dan distribusi), sejatinya tidak akan memberi manfaat sama sekali dari sisi beban pajak dan penanggung pajaknya. Konsumen akhir tetap akan menanggung PPN sebesar tarif dikali harga beli. Karena itu, fasilitas PPN Tidak Dipungut hanya akan efektif dan bermanfaat bila diberikan pada level konsumsi (pada bagian muara dari mata rantai produksi dan distribusi) atau pada jenis barang/jasa yang mempunyai karakter sebagai produk akhir (finished goods), bukan intermediary goods .4
Dari hakikat karakteristik ini, fasilitas PPN Tidak Dipungut paling cocok jika diberikan pada kegiatan ekonomi yang dianggap sebagai prioritas nasional tanpa merugikan sektor usaha yang menjadi konsumen dari sektor prioritas tersebut. Misalkan suatu ketika diputuskan bahwa industri dirgantara merupakan kegiatan ekonomi yang menjadi prioritas nasional, maka fasilitas PPN Tidak Dipungut dapat digunakan untuk mendorong pertumbuhan industri dirgantara, tanpa harus menyebabkan sektor penerbangan nasional – yang merupakan konsumen industri dirgantara – menanggung beban tambahan. Atau untuk pembangunan infrastruktur tertentu seperti pelabuhan, mass rapid transit, jembatan, gedung sekolah, perumahan rakyat, dll sepanjang digunakan bukan untuk proses produksi berikutnya sehingga prinsip netralitas tetap dapat terjaga .
Fasilitas PPN Tidak Dipungut juga cocok diberikan untuk barang/jasa tertentu yang dianggap merupakan kebutuhan hidup orang banyak namun berada pada bagian muara dari mata rantai produksi dan distribusi. Misalnya adalah pakaian seragam sekolah, susu anak, obat anti tetanus, dll.5 Barang-barang ini cocok diberikan fasilitas PPN Tidak Dipungut jika dianggap sangat penting bagi kemajuan bangsa sambil tetap dapat menjaga prinsip netralitas tidak tercederai karena tidak digunakan sebagai bagian dari proses produksi berikutnya.
Fasilitas PPN Dibebaskan
Pada hakikatnya barang/jasa yang diberikan fasilitas PPN Dibebaskan sama dengan Non BKP/Non JKP. Pembeli/konsumen tetap menanggung beban PPN, yaitu yang telah terutang pada mata rantai produksi dan distribusi sebelumnya. Beban PPN ini akhirnya menjadi tanggungan pembeli karena digeser secara bertahap dalam tiap mata rantai produksi dan distribusi. Keuntungan dari fasilitas PPN Dibebaskan yang diterima hanya sebesar PPN atas nilai tambah pada level pemberian fasilitas itu saja. Sedangkan PPN atas nilai tambah mata rantai sebelumnya tetap menjadi tanggungan pembeli. Semakin panjang rantai produksi dan distribusi sebelum mendapat fasilitas PPN Dibebaskan, semakin besar pula pajak yang ditanggung (atau semakin kecil pula efek keuntungan yang diperoleh dari pemberian fasilitas ini).
Fasilitas PPN Dibebaskan berpotensi besar akan menyebabkan distorsi pada netralitas PPN. Jika fasilitas PPN Dibebaskan diberikan sebelum sampai pada level konsumsi akhir, secara keseluruhan bukan hanya tidak memberi manfaat, yang terjadi justru adanya pemajakan berganda. Sektor ekonomi yang mendapat fasilitas PPN Dibebaskan memang mendapat (sedikit) keringanan, tetapi itu diperoleh dengan mengorbankan sektor ekonomi yang menjadi konsumennya. Konsumen akhir akan menanggung beban pajak lebih besar daripada tanpa pemberian fasilitas. Karena itu, fasilitas PPN Dibebaskan hanya boleh diberikan pada barang/jasa yang mempunyai karakteristik sebagai produk akhir (finished goods), bukan intermediary goods.
Dari hakikat karakteristik ini, fasilitas PPN Dibebaskan cocok jika diberikan pada pembelian barang/jasa yang akan digunakan untuk konsumsi, bukan sebagai bahan baku atau alat produksi. Khususnya jika produksi barang/jasa yang sama masih harus diimpor karena belum bisa dihasilkan di dalam negeri. Fasilitas ini juga cocok diberikan untuk tujuan meningkatkan keadilan dalam pembebanan pajak. Misalnya untuk komoditas –seperti air dan listrik- yang dianggap merupakan kebutuhan hidup orang banyak, sepanjang komoditas ini tidak digunakan untuk alat produksi.7 Utamanya jika komoditas ini dihasilkan pada bagian hulu dari mata rantai produksi dan distribusi –misalnya barang hasil pertanian, perkebunan, kehutanan.
Fasilitas PPN Dibebaskan juga cocok diberlakukan pada transaksi yang tidak menginginkan adanya kerumitan administrasi. Misalkan pembelian BKP/JKP oleh perwakilan negara asing dan organisasi internasional, yang diberikan untuk mengakomodir kelaziman pergaulan internasional. Atau atas barang bawaan penumpang lintas negara

P. Kawasan Bebas
Beberapa waktu yang lalu Pemerintah mengeluarkan kebijakan baru yang tertuang di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 120/PMK.04/2013 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011 Tentang Kawasan Berikat. Butir penting dalam PMK ini adalah pemberian relaksasi pembatasan fasilitas di Kawasan Berikat dengan memperluas ijin memasuki pasar domestik atas hasil produksi kawasan berikat dari sebelumnya hanya 25% menjadi 50%.
Terlepas dari pro kontra terkait PMK ini, barangkali ketentuan ini ditunggu-tunggu oleh beberapa pihak tak terkecuali oleh penulis sendiri. Namun pada kesempatan ini, Penulis tidak akan membahas tentang keuntungan atau kerugian dengan diterapkannya PMK ini, Penulis hanya ingin menyoroti terkait pemberian fasilitas perpajakan yang tertuang dalam Pasal 14 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011, yang berbunyi :
"Penangguhan Bea Masuk, pembebasan Cukai, pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), tidak dipungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Impor, diberikan atas pemasukan barang dari Kawasan Bebas yang akan diolah lebih lanjut dan/atau digabungkan dengan hasil produksi di Kawasan Berikat"
Beberapa perubahan telah dilakukan terhadap Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011 ini, namun redaksional Pasal 14 (4) hingga perubahan ketiga PMK ini masih tetap seperti di atas.
Yang menjadi permasalahan bagi Penulis adalah fasilitas PPN/PPnBM yang diberikan atas pemasukan barang dari Kawasan Bebas yang akan diolah lebih lanjut dan/atau digabungkan dengan hasil produksi di Kawasan Berikat menurut Pasal 14 ayat (4) PMK ini berupa pembebasan dari pengenaan PPN. Hal ini tidak sejalan dengan Peraturan Pemerintah 10 Tahun 2012 Pasal 29 ayat (1) yang memberikan fasilitas atas pemasukan barang tersebut berupa PPN tidak dipungut.


Fasilitas PPN di Kawasan Tertentu atau Tempat Tertentu
Pasal 16B Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 1984 mengamanatkan pemberian fasilitas berupa PPN terutang tidak dipungut atau dibebaskan dari pengenaan PPN, salah satunya adalah untuk kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean.
Bentuk kawasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2012 adalah Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas, terdiri dari Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas Sabang, Batam, Bintan dan Karimun.
Tempat tertentu sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2009 adalah Tempat Penimbunan Berikat yang dapat berbentuk Gudang Berikat, Kawasan Berikat, Tempat Penyelenggaraan Pameran Berikat, Toko Bebas Bea, Tempat Lelang Berikat atau Kawasan Daur Ulang Berikat.
Tujuan dari pemberian fasilitas ini adalah terutama untuk mendukung berhasilnya sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional, mendorong perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing, mendukung pertahanan nasional, serta memperlancar pembangunan nasional.
Fasilitas berupa PPN terutang tidak dipungut atau dibebaskan dari pengenaan PPN, hakikatnya sama yaitu pembeli atau penerima jasa tidak perlu membayar PPN yang terutang dan bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) penjual atau pemberi jasa tidak perlu memungut PPN yang terutang. Yang membedakan dari kedua fasilitas PPN tersebut adalah dari sisi pengkreditan Pajak Masukannya.
Atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak (JKP) yang mendapat fasilitas tidak dipungut PPN, Pajak Masukan atas perolehannya dapat dikreditkan. Sementara atas penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN, Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan.
Fasilitas PPN yang diberikan atas kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011 dan perubahannya serta Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2012.
Terkait pemasukan barang dari Kawasan Bebas yang akan diolah lebih lanjut dan/atau digabungkan dengan hasil produksi di Kawasan Berikat (salah satu bentuk Tempat Penimbunan Berikat), fasilitas PPN yang diberikan menurut kedua ketentuan tersebut berbeda satu sama lain. Jika menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011 mendapat fasilitas berupa pembebasan dari pengenaan PPN, namun menurut Peraturan Pemerintah 10 Tahun 2012 mendapat fasilitas berupa PPN tidak dipungut.
Bagaimana Seharusnya
Implikasi dari terminologi PPN terutang tidak dipungut atau dibebaskan dari pengenaan PPN, bagi pembeli atau penerima jasa yaitu Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB tidak perlu membayar PPN yang terutang, dan bagi Pengusaha di Kawasan Bebas selaku penjual atau pemberi jasa tidak perlu memungut PPN yang terutang. Terlebih lagi Pengusaha di Kawasan Bebas tidak perlu dikukuhkan untuk menjadi Pengusaha Kena Pajak, sehingga tidak ada kepentingan Pengusaha di Kawasan Bebas itu untuk mengkreditkan Pajak Masukannya. Jadi sebenarnya mau terminologinya "dibebaskan" atau "tidak dipungut" tidak menjadi masalah dalam implikasi perpajakannya.
Namun peraturan perundang-undangan harus disusun secara benar sesuai dengan kaidah-kaidah hukum dan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, sehingga dapat memberikan kepastian hukum. Harus dipastikan pemberian fasilitas PPN atas pemasukan barang dari Kawasan Bebas yang akan diolah lebih lanjut dan/atau digabungkan dengan hasil produksi di Kawasan Berikat, apakah menggunakan terminologi "dibebaskan" atau "tidak dipungut".
Penulis mencoba membahasnya dengan menjelaskan ciri-ciri bahasa Peraturan Perundang-undangan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang termaktub dalam Lampiran II angka 243, antara lain:
a.       lugas dan pasti untuk menghindari kesamaan arti atau kerancuan;
b.      bercorak hemat hanya kata yang diperlukan yang dipakai;
c.       objektif dan menekan rasa subjektif (tidak emosi dalam mengungkapkan tujuan atau maksud);
d.      membakukan makna kata, ungkapan atau istilah yang digunakan secara konsisten;
e.       memberikan definisi atau batasan pengertian secara cermat;
f.       penulisan kata yang bermakna tunggal atau jamak selalu dirumuskan dalam bentuk tunggal; dan
g.      penulisan huruf awal dari kata, frasa atau istilah yang sudah didefinisikan atau diberikan batasan pengertian, nama jabatan, nama profesi, nama institusi/lembaga pemerintah/ketatanegaraan, dan jenis Peraturan Perundang-undangan dan rancangan Peraturan Perundang-undangan dalam rumusan norma ditulis dengan huruf kapital.
Fasilitas PPN yang berbeda perlakuannya sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011 dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2012 menurut ciri-ciri bahasa Peraturan Perundang-undangan di atas, nyata bahwa tidak memenuhi huruf d dan e. Seharusnya kedua peraturan perundang-undangan tersebut memberi perlakuan yang sama terhadap pemberian fasilitas PPN tersebut.
Lalu bagaimanakah seharusnya, apakah fasilitas yang diberikan "dibebaskan" atau "tidak dipungut"
Jika kita melihat tujuan pemberian fasilitas di kawasan berikat yaitu mendorong ekspor, maka seyogyanya hasil produksi yang diekspor harus tidak mengandung unsur PPN, agar produk yang diekspor dapat bersaing di pasar global. Oleh karena itu fasilitas yang semestinya diperoleh adalah PPN terutang tidak dipungut.
Berbeda jika fasilitas yang diberikan adalah dibebaskan dari pengenaan PPN. Maka PPN yang dibayar atas perolehan barang/jasa oleh PKP yang melakukan penyerahan, akan dibiayakan dan melebur menjadi harga jual/penggantian. Sehingga masih terdapat unsur PPN yang melekat dalam harga jual/penggatian barang/jasa tersebut.
Selanjutnya, jika dilihat kekuatan hukum, tentunya Peraturan Pemerintah lebih kuat dibandingkan Keputusan Menteri Keuangan, namun dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 120/PMK.04/2013, yang notabene lebih baru tetapi tidak mengubah redaksional Pasal 14 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011, maka hal ini tetap akan membingungkan pada pelaksanaannya.









Daftar Isi


http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/167-artikel-pajak/12567-bagaimana-sebenarnya-perlakuan-perpajakan-atas-pengeluaran-barang-dari-kawasan-bebas-ke-tempat-penimbunan-berikat

Komentar

Postingan Populer