Hari-hari suci Agama Hindu
Setiap umat
manusia yang ada di dunia ini, yang mempunyai kenyakinan akan adnya Sang
Pencita, masing-masing mempunyai hari raya tertentu yang dianggap suci (kramat)
dan mulia, yang tidak dilewatkan begitu saja tanpa disertai dengan suatu
upacara dan upakara, meskipun hanya secara sederhana saja. Hari-hari suci bagi
umat Hindu itu dipandang suci, karena pada hari-hari itu umat hindu wajib
melakukan pemujaan terhadap Hyang Widhi Wasa (Tuhan yang Maha kuasa) beserta
segala manifestasi Nya. Hari- hari suci pada hakekatnya merupakan hari-hari
peyogaan Hyang Widhi dengan segala manifestasi-Nya. Oleh karena itu pada
hari-hari tersebut merupakan hari-hari yang baik untuk melakukan Yadnya. Yadnya
ini dilakukan oleh umat manusia hal ini sebagai penghormatan dan pemujaan
terhadap hyang Widhi (Tuhan Maha Pecipta), atas segala karunia-Nya yang tidak
terbatas yang telah dilimpahkan-Nya dan atas sinar suci t-Nya kepada semua
kehidupan di dunia ini. Hari- hari yang di pandang suci bagi umat Hundu adalah
sebagai berkut:
1.
Hari Nyepi (Tahun baru Saka)
Hari Raya Nyepi’ adalah hari raya umat Hindu yang dirayakan setiap tahun
Baru Saka. Hari ini jatuh pada hitungan Tilem Kesanga (IX) yang dipercayai
merupakan hari penyucian dewa-dewa yang berada di pusat samudera yang membawa
intisari amerta air hidup. Untuk itu umat Hindu melakukan pemujaan suci
terhadap mereka.Nyepi berasal dari kata sepi (sunyi, senyap). Hari Raya Nyepi
sebenarnya merupakan perayaan Tahun Baru Hindu berdasarkan penanggalan /
kalender caka, yang dimulai sejak tahun 78 Masehi. Tidak seperti perayaan tahun
baru Masehi, Tahun Baru Saka di Bali dimulai dengan menyepi. Tidak ada
aktifitas seperti biasa. Semua kegiatan ditiadakan, termasuk pelayanan umum,
seperti Bandar Udara Internasional pun tutup, namun tidak untuk rumah sakit.
Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon ke hadapan Tuhan Yang Maha
Esa, untuk menyucikan Bhuana Alit (alam manusia / microcosmos) dan Bhuana
Agung/macrocosmos (alam semesta). Sebelum Hari Raya Nyepi, terdapat beberapa
rangkaian upacara yang dilakukan umat Hindu, khususnya di daerah Bali.Melasti,
Tawur (Pecaruan), dan Pengrupukan Tiga atau dua hari sebelum Nyepi, umat Hindu
melakukan Penyucian dengan melakukan upacara Melasti atau disebut juga
Melis/Mekiyis. Pada hari tersebut, segala sarana persembahyangan yang ada di
Pura (tempat suci) di arak ke pantai atau danau, karena laut atau danau adalah
sumber air suci (tirta amerta) dan bisa menyucikan segala leteh (kotor) di
dalam diri manusia dan alam. Sehari sebelum Nyepi, yaitu pada “tilem sasih
kesanga” (bulan mati yang ke-9), umat Hindu melaksanakan
upacara Buta Yadnya di segala tingkatan masyarakat,mulai dari masing-masing
keluarga,banjar,desa,kecamatan dan seterusnya, dengan mengambil salah satu dari
jenis-jenis caru (semacam sesajian) menurut kemampuannya.
Buta Yadnya itu masing-masing bernama Pañca Sata (kecil), Pañca Sanak
(sedang), dan Tawur Agung (besar). Tawur atau pecaruan sendiri merupakan
penyucian/pemarisuda Buta Kala, dan segala leteh (kekotoran) diharapkan sirna
semuanya. Caru yang dilaksanakan di rumah masing-masing terdiri dari nasi manca
(lima) warna berjumlah 9 tanding/paket beserta lauk pauknya, seperti ayam
brumbun (berwarna-warni) disertai tetabuhan arak/tuak. Buta Yadnya ini
ditujukan kepada Sang Buta Raja, Buta Kala dan Batara Kala, dengan memohon
supaya mereka tidak mengganggu umat. Mecaru diikuti oleh upacara pengerupukan,
yaitu menyebar-nyebar nasi tawur, mengobori-obori rumah dan seluruh pekarangan,
menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesiu, serta memukul benda-benda apa
saja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh. Tahapan ini dilakukan
untuk mengusir Buta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan
sekitar. Khusus di Bali, pengrupukan biasanya dimeriahkan dengan pawai
ogoh-ogoh yang merupakan perwujudan Buta Kala yang diarak keliling lingkungan,
dan kemudian dibakar. Tujuannya sama yaitu mengusir Buta Kala dari lingkungan
sekitar. Puncak acara Nyepi Keesokan harinya, yaitu pada ‘pinanggal pisan,sasih
Kedasa (tanggal 1,bulan ke-10), tibalah Hari Raya Nyepi sesungguhnya. Pada hari
ini suasana seperti mati. Tidak ada kesibukan aktifitas seperti biasa.
Pada hari ini umat Hindu melaksanakan “Catur Brata” Penyepian
yang terdiri dari amati geni (tiada berapi-api/tidak menggunakan dan atau
menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak
bepergian), dan amati lelanguan (tidak mendengarkan hiburan). Serta bagi yang
mampu juga melaksanakan tapa,brata,yoga dan semadhi. Demikianlah untuk masa
baru, benar-benar dimulai dengan suatu halaman baru yang putih bersih. Untuk
memulai hidup dalam tahun baru Caka pun, dasar ini dipergunakan, sehingga semua
yang kita lakukan berawal dari tidak ada,suci dan bersih. Tiap orang berilmu
(sang wruhing tattwa jñana) melaksanakan brata (pengekangan hawa nafsu), yoga (
menghubungkan jiwa dengan paramatma (Tuhan), tapa (latihan ketahanan
menderita), dan samadi (manunggal kepada Tuhan, yang tujuan akhirnya adalah kesucian
lahir batin). Semua itu menjadi keharusan bagi umat Hindu agar memiliki
kesiapan batin untuk menghadapi setiap tantangan kehidupan di tahun yang baru.
[sunting] Ngembak Geni (Ngembak Api) Rangkaian terakhir dari perayaan Tahun
Baru Saka adalah hari Ngembak Geni yang jatuh pada “pinanggal ping kalih”
(tanggal 2) sasih kedasa (bulan X). Pada hari ini Tahun Baru Saka tersebut
memasuki hari kedua. Umat Hindu melakukan Dharma Shanti dengan keluarga besar
dan tetangga, mengucap syukur dan saling maaf memaafkan (ksama) satu sama lain,
untuk memulai lembaran tahun baru yang bersih.Inti Dharma Santi adalah filsafat
Tattwamasi yang memandang bahwa semua manusia diseluruh penjuru bumi sebagai
ciptaan Ida Sanghyang Widhi Wasa hendaknya saling menyayangi satu dengan yang
lain, memaafkan segala kesalahan dan kekeliruan. Hidup di dalam kerukunan dan
damai.
Ogoh-ogoh yang sedang
diparadekan di daerah Ngrupuk dalam upacara Bhuta Yajna.
Nyepi
berasal dari kata sepi (sunyi, senyap). Hari Raya Nyepi sebenarnya merupakan
perayaan Tahun Baru Hindu berdasarkan penanggalan/kalender caka, yang
dimulai sejak tahun 78 Masehi. Tidak seperti perayaan tahun baru Masehi, Tahun
Baru Saka di Bali dimulai dengan menyepi. Tidak ada aktivitas seperti biasa.
Semua kegiatan ditiadakan, termasuk pelayanan umum, seperti Bandar Udara
Internasional pun tutup, namun tidak untuk rumah sakit.
Tujuan utama
Hari Raya Nyepi adalah memohon ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, untuk menyucikan
Bhuana Alit (alam manusia/microcosmos) dan Bhuana
Agung/macrocosmos (alam semesta). Sebelum Hari Raya Nyepi, terdapat
beberapa rangkaian upacara yang dilakukan umat Hindu, khususnya di daerah Bali.
·
Melasti, Tawur (Pecaruan), dan Pengrupukan
Tiga atau
dua hari sebelum Nyepi, umat Hindu melakukan Penyucian dengan melakukan upacara
Melasti atau disebut juga Melis/Mekiyis. Pada hari tersebut, segala sarana
persembahyangan yang ada di Pura (tempat suci) diarak ke pantai atau danau,
karena laut atau danau adalah sumber air suci (tirta amerta) dan bisa
menyucikan segala leteh (kotor) di dalam diri manusia dan alam.
Sehari
sebelum Nyepi, yaitu pada "tilem sasih kesanga" (bulan mati yang
ke-9), umat Hindu melaksanakan upacara Buta Yadnya di segala tingkatan
masyarakat, mulai dari masing-masing keluarga, banjar, desa, kecamatan, dan
seterusnya, dengan mengambil salah satu dari jenis-jenis caru (semacam sesajian) menurut
kemampuannya. Buta Yadnya itu masing-masing bernama Pañca Sata
(kecil), Pañca Sanak (sedang), dan Tawur Agung (besar). Tawur
atau pecaruan sendiri merupakan penyucian/pemarisuda Buta Kala, dan segala leteh
(kekotoran) diharapkan sirna semuanya. Caru yang dilaksanakan di rumah
masing-masing terdiri dari nasi manca (lima) warna berjumlah 9 tanding/paket
beserta lauk pauknya, seperti ayam brumbun (berwarna-warni) disertai tetabuhan
arak/tuak. Buta Yadnya ini ditujukan kepada Sang Buta Raja, Buta Kala
dan Batara Kala, dengan memohon supaya mereka tidak mengganggu umat.
Mecaru diikuti
oleh upacara pengerupukan, yaitu menyebar-nyebar nasi tawur, mengobori-obori rumah dan
seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesiu, serta memukul
benda-benda apa saja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh. Tahapan
ini dilakukan untuk mengusir Buta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan
lingkungan sekitar. Khusus di Bali, pengrupukan
biasanya dimeriahkan dengan pawai ogoh-ogoh yang
merupakan perwujudan Buta Kala yang diarak keliling lingkungan, dan kemudian
dibakar. Tujuannya sama yaitu mengusir Buta Kala dari lingkungan sekitar.
·
Puncak acara Nyepi
Keesokan harinya, yaitu pada 'pinanggal
pisan, sasih Kedasa (tanggal 1, bulan ke-10), tibalah Hari Raya Nyepi
sesungguhnya. Pada hari ini suasana seperti mati. Tidak ada kesibukan aktivitas
seperti biasa. Pada hari ini umat Hindu melaksanakan "Catur Brata"
Penyepian yang terdiri dari amati geni (tiada berapi-api/tidak
menggunakan dan atau menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati
lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mendengarkan
hiburan). Serta bagi yang mampu juga melaksanakan tapa, brata, yoga, dan
semadhi.
Demikianlah untuk masa baru,
benar-benar dimulai dengan suatu halaman baru yang putih bersih. Untuk memulai
hidup dalam tahun baru Caka pun, dasar ini dipergunakan, sehingga semua yang
kita lakukan berawal dari tidak ada,suci dan bersih. Tiap orang berilmu (sang
wruhing tattwa jñana) melaksanakan brata (pengekangan hawa nafsu), yoga
(menghubungkan jiwa dengan paramatma (Tuhan)), tapa (latihan ketahanan
menderita), dan samadi (manunggal kepada Tuhan, yang tujuan akhirnya adalah
kesucian lahir batin).
Semua itu menjadi keharusan bagi umat
Hindu agar memiliki kesiapan batin untuk menghadapi setiap tantangan kehidupan
di tahun yang baru.
·
Ngembak Geni (Ngembak Api)
Rangkaian
terakhir dari perayaan Tahun Baru Saka adalah hari Ngembak Geni yang
jatuh pada "pinanggal ping kalih" (tanggal 2) sasih kedasa (bulan X).
Pada hari ini Tahun Baru Saka tersebut memasuki hari ke dua. Umat Hindu
melakukan Dharma Shanti dengan keluarga besar dan tetangga, mengucap syukur dan
saling maaf memaafkan (ksama) satu sama lain, untuk memulai lembaran
tahun baru yang bersih. Inti Dharma Santi adalah filsafat Tattwamasi yang
memandang bahwa semua manusia di seluruh penjuru bumi sebagai ciptaan Ida
Sanghyang Widhi Wasa hendaknya saling menyayangi satu dengan yang lain,
memaafkan segala kesalahan dan kekeliruan. Hidup di dalam kerukunan dan damai.
2. Hari
Ciwaratri
Perayaan Siwa
Ratri adalah salah satu bentuk ritual Hindu yang mengajarkan kita untuk selalu
memelihara kesadaran diri agar terhindar dari perbuatan dosa dan papa. Diakui
atau tidak, manusia sering lupa, karena memiliki keterbatasan. Kerena sering
mengalami lupa itu, maka setiap tahun pada sasih kepitu (bulan ketujuh menurut
penanggalan Bali), dilangsungkan upacara Siwa Ratri dengan inti perayaan malam
pejagraan. Pejagraan yang asal katanya jagra itu artinya sadar, eling atau
melek. Orang yang selalu jagralah yang dapat menghindar dari perbuatan dosa.
Dalam
Bhagavadgita III, 42, dinyatakan, orang akan memiliki alam pikiran jernih,
apabila atman atau jiwa yang suci itu selalu menyinari budhi atau alam kesadaran.
Budhi (kesadaran) itu menguasai manah (pikiran). Manah menguasai indria.
Kondisi alam pikiran yang struktural dan ideal seperti itu amat sulit didapat.
Ia harus selalu diupayakan dengan membangkitkan kepercayaan pada Tuhan sebagai
pembasmi kegelapan jiwa. Siwa Ratri (Ratri juga sering ditulis Latri) adalah
malam untuk memusatkan pikiran pada Sanghyang Siwa guna mendapatkan kesadaran
agar terhindar dari pikiran yang gelap. Karena itu, Siwa Ratri lebih tepat jika
disebut ”malam kesadaran” atau ”malam pejagraan”, bukan ”malam penebusan dosa”
sebagaimana sering diartikan oleh orang yang masih belum mendalami agama.
Memang, orang
yang selalu sadar akan hakikat kehidupan ini, selalu terhindar dari perbuatan
dosa. Orang bisa memiliki kesadaran, karena kekuatan budhinya (yang menjadi
salah satu unsur alam pikiran) yang disebut citta. Melakukan brata Siwa Ratri
pada hakikatnya menguatkan unsur budhi. Dengan memusatkan budhi tersebut pada
kekuatan dan kesucian Siwa sebagai salah satu aspek atau manifestasi Sang Hyang
Widhi Wasa, kita melebur kegelapan yang menghalangi budhi dan menerima sinar
suci Tuhan. Jika budhi selalu mendapat sinar suci Tuhan, maka budhi akan
menguatkan pikiran atau manah sehingga dapat mengendalikan indria atau Tri
Guna.
Siwa Ratri
pada hakikatnya kegiatan Namasmaranâm pada Siwa. Namasmaranâm artinya selalu
mengingat dan memuja nama Tuhan yang jika dihubungankan dengan Siwa Ratri
adalah nama Siwa. Nama Siwa memiliki kekuatan untuk melenyapkan segala
kegelapan batin. Jika kegelapan itu mendapat sinar dari Hyang Siwa, maka
lahirlah kesadaran budhi yang sangat dibutuhkan setiap saat dalam hidup ini.
Dengan demikian, upacara Siwa Ratri sesungguhnya tidak harus dilakukan setiap
tahun, melainkan bisa dilaksanakan setiap bulan sekali, yaitu tiap menjelang
tilem atau bulan mati. Sedangkan menjelang tilem kepitu (tilem yang paling
gelap) dilangsungkan upacara yang disebut Maha Siwa Ratri.
Untuk dapat
mencapai kesadaran, kita bisa menyucikan diri dengan melakukan sanca. Dalam
Lontar Wraspati Tattwa disebutkan, Sanca ngaranya netya majapa maradina sarira.
Sanca itu artinya melakukan japa dan membersihkan tubuh. Sedang kitab
Sarasamuscaya menyebutkan, Dhyana ngaranya ikang Siwasmarana, artinya, dhyana
namanya (bila) selalu mengingat Hyang Siwa.
Di India, setiap
menjelang bulan mati (setiap bulan) umat Hindu menyelenggarakan Siwa Ratri dan
tiap tahun merayakan Maha Siwa Ratri. Keutamaan brata Siwa Ratri banyak
diuraikan dalam pustaka berbahasa Sanskerta, Jawa Kuno dan Bali. Ini suatu
pertanda, bah-wa Siwa Ratri dari sejak dahulu sudah dirayakan baik oleh umat
Hindu di India, maupun di Jawa dan Bali. Dalam kepustakaan Sanskerta, keutamaan
brata Siwa Ratri diuraikan dalam kitabkitab Purana, misalnya Siwa Purana,
Skanda Purana, Garuda Purana dan Padma Purana. Siwa Purana, pada bagian Jñana
Samhita memaparkan keutamaan brata Siwa Ratri dan tata-cara merayakan malam
suci terbut. Di situ ada dimuat tentang dialog antara seseorang bernama Suta
dan para rsi. Dalam percakapan tersebut, dikisahkanl seseorang yang kejam bernama
Rurudruha. Ia menjadi sadar akan dosa-dosa yang telah diperbuat setelah
melakukan brata Siwa Ratri. Berkat bangkitnya kesadarannya, ia tinggalkan semua
perbuatan dosa, lalu dengan mantap berjalan di jalan dharma.
Di antara
berbagai brata, mengunjungi tempat suci, memberi dana punya yang mahal seperti
batu mulia (emas dan permata), melakukan berbagai jenis upacara Yajña, berbagai
jenis tapa dan melakukan berbagai kegiatan Japa atau mantra untuk memuja
keagungan-Nya,semuanya itu tidak ada yang melebih keutamaan brata Sivaratri.
Sejalan
dengan pernyataan di atas, kakawin Sivaratri Kalpa menyatakan keutamaan Brata
Sivaratri seperti diwedarkan oleh Sang Hyang Siva sebagai berikut:
”Setelah seseorang mampu melaksanakan Brata sebagai yang telah Aku ajarkan, kalahlah pahala dari semua upacara Yajña, melakukan tapa dan dana punya demikian pula menyucikan diri ke tempat-tempat suci, pada awal penjelmaan, walaupun seribu bahkan sejuta kali menikmati Pataka (pahala dosa dan papa), tetapi dengan pahala Brata Sivaratri ini, semua Pataka itu lenyap”.
”Setelah seseorang mampu melaksanakan Brata sebagai yang telah Aku ajarkan, kalahlah pahala dari semua upacara Yajña, melakukan tapa dan dana punya demikian pula menyucikan diri ke tempat-tempat suci, pada awal penjelmaan, walaupun seribu bahkan sejuta kali menikmati Pataka (pahala dosa dan papa), tetapi dengan pahala Brata Sivaratri ini, semua Pataka itu lenyap”.
”Walaupun
benar-benar sangat jahat, melakukan perbuatan kotor, menyakiti kebaikan hati
orang lain, membunuh pandita (orang suci) juga membunuh orang yang tidak
bersalah, congkak dan tidak hormat kepada guru, membunuh bayi dalam kandungan,
seluruh kepapaan itu akan lenyap dengan melakukan Brata Sivaratri yang utama,
demikianlah keutamaan dan ketinggian Brata (Sivaratri) yang Aku sabdakan ini”
(Sivaratri kalpa, 37, 7-8)*
Sumber Sastra
itihasa Dalam Itihasa, Sivaratri terdapat dalam Mahabharata, yaitu pada Santi
Parva, dalam episode ketika Bhisma sedang berbaring di atas anak-anak panahnya
Arjuna, menunggu kematian, sambil membahas dharma, mengacu kepada perayaan Maha
Sivaratri oleh raja Citrabhanu, raja Jambudvipa dari dinasti Iksvaku. Raja
Citrabhanu bersama istrinya melakukan upavasa pada hari Maha Sivaratri. Rsi
Astavakra bertanya:
“Wahai sang
raja, mengapa kalian berdua melakukan upavasa pada hari ini? Sang raja
dianugerahi ingatan akan punarbhawa sebelumnya, lalu ia menjelaskan kepada sang
rsi.
“Dalam
kehidupanku terdahulu aku adalah seorang pemburu di Varanasi yang bernama
Susvara. Kebiasaanku adalah membunuh dan menjual burung-burung dan binatang
lainnya. Suatu hari aku berburu ke hutan, aku menangkap seekor kijang, namun
hari keburu gelap. Aku tidak bisa pulang, kijang itu kuikat di sebatang pohon.
Lalu aku naik sebatang pohon bilva. Karena aku lapar dan haus, aku tidak dapat
tidur. Aku teringat anak istriku yang malang di rumah, menungguku pulang dengan
rasa lapar dan gelisah. Untuk melewatkan malam aku memetik daun bilva dan
menjatuhkannya ke tanah.” Kisah selanjutnya mirip dengan kisah Lubdaka di Indonesia.
·
Purana
Sivaratri juga dimuat dalam purana-purana, yang umumnya berisi kisah-kisah pemburu yang sadar, seperti berikut:
Sivaratri juga dimuat dalam purana-purana, yang umumnya berisi kisah-kisah pemburu yang sadar, seperti berikut:
Pertama,
Siva Purana (bagian Jnanasamhita). Pada bagian ini memuat percakapan antara
Suta dengan para rsi, menguraikan pentingnya upacara Sivaratri. Seseorang
bernama Rurudruha seperti telah disinggung di atas.
Kedua,
Skanda Purana (bagian Kedarakanda). Pada bagian Kedarakanda antara lain memuat
percakapan antara Lomasa dengan para rsi. Lomasa menceritakan kepada para rsi
tentang si Canda yang jahat, pembunuh segala mahluk, sampai membunuh brahmana,
akhirnya dapat mengerti dan menghayati apa yang disebut ”kebenaran” Dalam
Skanda Purana juga diceritakan kisah seorang pemburu yang identik dengan kisah
pemburu dalam Santi Parva.
Ketiga,
Garuda Purana (bagian Acarakanda). Bagian ini memuat uraian singkat tentang
Sivaratri diceritakan bahwa Parvati bertanya tentang brata yang terpenting.
Siva menguraikan tentang pelaksanaan vrata Sivaratri. Seorang raja bernama
Sudarasenaka pergi berburu ke hutan bersama seekor anjing. Rangkaian kisah
inipun tidak berbeda dengan kisah pemburu di atas.
Keempat,
Padma Purana (bagian Uttarakanda). Bagian ini memuat percakapan raja Dilipa
denganWasista. Wasista menceritakan bahwa Sivaratri adalah vrata yang sangat
utama, antara bulan Magha dan Palghuna. Dalam Padma Purana, pemburu itu bernama
Nisadha. Berkat vrata Sivaratri yang dilakukannya berhasil membawanya ke Siva
loka.
3.
Hari Galungan
Galunagan
adalah pemujaan kepada Hyanng Widhi yang dilakukan dengan penuh kesucian dan
ketulusan hati. Memohon kesejahteraan dan keselamatan hidup serta agara
dijauhkan dari awidya. Hari raya galungan adalah hari pawedalam jagat. Yaitu
pemujaan bahwa telah terciptnya jagat dengan segala isinya oleh Hyang Widhi.
Hari ini muncul setiap 210 hari sekali. Yaitu pada hari rabu kliwon Wuku
Dungulan. Galungan merupakan perlambang perjuangan antara yang benar (dharma)
nmelawan tidak benar (adharma) dan juga sebagi pernyataan rasa terimakasih atas
kemakmuran dalam alam yang diciptkan Hyang Widhi ini. Disamping itu pula,
perayaan galungan adalah untuk menyatakan terima kasih dan rasa bahagia atas
kemurahan Hyang Widhi yang dibayangkan telah sudi turun dengan diiringi oleh
para dewa dan para Pitara ke dunia. Sehari sebelum galungan, yaitu pada hari
selasa Wage wuku Dungulan. Disebut hari Hari Penampahan. Mulai saat penampahan
ini segala bentuk nafsu hendaknya dikendalikan dalam rangka menyambut hari raya
Galungan (Besoknya), karena pada hari Penampahan iini manusia berusaha digoda
oleh nafsu-nafsunya yang bersifat negatif, misalnya nafsu murka, iri hati,
sombong, congkak dan lain-lainnya, yang dilambangkan dengan Sang kala Tiga.
Apabila manusia pada saat itu kurang waspada dan tidak dapat mengendalikan
dirinya sendiri, maka ia akan dikuasai adanya dorongan nafsu marah, sering
terjadi pertengkaran-pertengkaran .perselisihan dan lain sebagainya.
4.
Hari kuningan
Kuningan
jatuh setiap Sabtu Kliwon Wuku Kuningan 210 hari sekali yakni sepuluh hari
setelah Galungan. Hari Kuningan adalah hari payogaan Hyang Widhi yang turun
kedunia dengan diiringi oleh para Dewa dan Pitara pitari melimpahkan
Karunia-Nya kepada umat manusia. Karena itu pada hari Kuningan kita hendaknya
mengahturkan bakti memohon kesentosaan, keselamatan, perlindungan dan tuntunan
lahir bathin. Pada hari kuningan ini, sajen (banten) yang dihaturkan harus
dilengkapi dengan nasi yanng berwarna kuning. Tujuannya adalah sebagai tanda
terima kasih atas kesejahteraan dan kemakmuran yang dilimpahkan oleh Hyang
Widhi Wasa. Pada hari ini kita membuat tamiang, endongan dan kolem yang
dipasang pada Padmasana. Sanggah (Merajan) dan Penjor. Tamiang ini adalah
simbol alat penangkis dari serangan, endongan adalah simbul tempat makanan
karena itu endongan berisi buah-buahan, tebu, tumpeng serta lauk pauknya, dan
kolem merupakan simbul tempat istirahat atau tidur. Upacara persembanhyangan
hari kuningan harus sudah selesai sebelum tengah hari.
5.
Hari Saraswati
Saraswati,
adalah hari raya untuk memuja hyang Widhi dalam menifestasinya dan kekuatannya
menciptakan ilmu pengetahuan dan ilmu kesucian. Hari Raya Saraswati merupakan
piodalan Sang hyang Aji Saraswati atau turunya Weda yang dirayakan setiap hari
sabtu Umanis Wuku Watugunung, yang jatuhnya setiap 210 hari sekali. Kekuatan
Hyang Widhi dalam Manifestasin-Nya menurunkan Ilmu pengetahuan dilambangkan dengan
seorang “Dewi”. Dewi Saraswati merupakan Dewi ilmu pengetahuan Suci, karena itu
bagi para arif bijaksana, pelajar dan kaum cendikiawan, saraswati ini merupakan
hari penting untuk memuja kebesaran hyang Widhi atas segala Ilmu pengetahuan
suci yang telah dianugrahkan itu. Dewi Saraswati merupakan sakti Brahma
(manifestasi Hyang Widhi dalam hal mencipta), yang mempunyai kekuatan yang luar
biasa dalam bidang ilmu pengetahuan. Dari ilmu pengetahuan inilah timbul
ciptaan-ciptaan baru yang ada didunia, tanpa ilmu pengetahuan manusia tidak
mungkin dapat menciptkan yang baru.
Saraswati (Dewanagari: सरस्वती; IAST: SarasvatÄ«) adalah
salah satu dari tiga dewi utama dalam
agama Hindu, dua yang
lainnya adalah Dewi Sri (Laksmi) dan Dewi
Uma (Durga). Saraswati
adalah sakti (istri)
dari Dewa Brahma, Dewa
Pencipta. Saraswati berasal dari akar kata sr yang berarti mengalir.
Dalam Regweda V.75.3,
Saraswati juga disebut sebagai Dewi Sungai, disamping Gangga, Yamuna, Susoma dan yang lainnya.
Saraswati adalah dewi yang dipuja
dalam agama weda. Nama
Saraswati tercantum dalam Regweda dan juga
dalam sastra Purana (kumpulan
ajaran dan mitologi Hindu). Ia adalah dewi ilmu pengetahuan dan seni. Saraswati juga dipuja sebagai dewi
kebijaksanaan.
Dalam aliran Wedanta, Saraswati
di gambarkan sebagai kekuatan feminin dan aspek
pengetahuan — sakti — dari Brahman.
Sebagaimana pada zaman lampau, ia adalah dewi yang menguasai ilmu pengetahuan
dan seni. Para penganut ajaran Wedanta meyakini, dengan menguasai ilmu
pengetahuan dan seni, adalah salah satu jalan untuk mencapai moksa, pembebasan dari kelahiran kembali.
·
Penggambaran
Dewi Saraswati digambarkan sebagai
sosok wanita cantik, dengan kulit halus dan bersih, merupakan perlambang bahwa
ilmu pengetahuan suci akan memberikan keindahan dalam diri. Ia tampak
berpakaian dengan dominasi warna putih, terkesan sopan, menunjukan bahwa
pengetahuan suci akan membawa para pelajar pada kesahajaan. Saraswati dapat
digambarkan duduk atau berdiri diatas bunga teratai, dan juga
terdapat angsa yang
merupakan wahana atau
kendaraan suci darinya, yang mana semua itu merupakan simbol dari kebenaran sejati.
Selain itu, dalam penggambaran sering juga terlukis burung merak.
Dewi Saraswati digambarkan memiliki
empat lengan yang melambangkan empat aspek kepribadian manusia dalam
mempelajari ilmu pengetahuan: pikiran, intelektual, waspada (mawas diri) dan
ego. Di masing-masing lengan tergenggam empat benda yang berbeda, yaitu:
- Lontar (buku), adalah kitab suci Weda, yang melambangkan pengetahuan universal, abadi, dan ilmu sejati.
- Genitri (tasbih, rosario), melambangkan kekuatan meditasi dan pengetahuan spiritual.
- Wina (kecapi), alat musik yang melambangkan kesempurnaan seni dan ilmu pengetahuan.
- Damaru (kendang kecil).
Angsa merupakan semacam simbol yang
sangat populer yang berkaitan erat dengan Saraswati sebagai wahana (kendaraan
suci). Angsa juga melambangkan penguasaan atas Wiweka (daya nalar) dan Wairagya
yang sempurna, memiliki kemampuan memilah susu di antara lumpur, memilah antara yang baik dan yang
buruk. Angsa berenang di air tanpa membasahi bulu-bulunya, yang memiliki makna filosofi, bahwa
seseorang yang bijaksana dalam menjalani kehidupan layaknya orang biasa tanpa
terbawa arus keduniawian.
Selain angsa, juga sering terdapat merak dalam penggambaran Dewi Saraswati,
yang mana adalah simbol dari kesombongan, kebanggaan semu, sebab merak sesekali
waktu mengembangkan bulu-bulunya yang indah namun bukan keindahan yang abadi.
6. Hari Raya Pagerwesi
Kata
"pagerwesi" artinya pagar dari besi. Ini me-lambangkan suatu
perlindungan yang kuat. Segala sesuatu yang dipagari berarti sesuatu yang
bernilai tinggi agar jangan mendapat gangguan atau dirusak. Hari Raya Pagerwesi
sering diartikan oleh umat Hindu sebagai hari untuk memagari diri yang dalam
bahasa Bali disebut magehang awak. Nama Tuhan yang dipuja pada hari raya ini
adalah Sanghyang Pramesti Guru.
Sanghyang
Paramesti Guru adalah nama lain dari Dewa Siwa sebagai manifestasi Tuhan untuk
melebur segala hal yang buruk. Dalam kedudukannya sebagai Sanghyang Pramesti
Guru, beliau menjadi gurunya alam semesta terutama manusia. Hidup tanpa guru
sama dengan hidup tanpa penuntun, sehingga tanpa arah dan segala tindakan jadi
ngawur.
Hari Raya
Pagerwesi dilaksanakan pada hari Budha (Rabu) Kliwon Wuku Shinta. Hari raya ini
dilaksanakan 210 hari sekali. Sama halnya dengan Galungan, Pagerwesi termasuk
pula rerahinan gumi, artinya hari raya untuk semua masyarakat, baik pendeta
maupun umat walaka. Dalam lontar Sundarigama disebutkan:
"Budha
Kliwon Shinta Ngaran Pagerwesi payogan Sang Hyang Pramesti Guru kairing ring
watek Dewata Nawa Sanga ngawerdhiaken sarwa tumitah sarwatumuwuh ring bhuana
kabeh."
Artinya:
Rabu Kliwon
Shinta disebut Pagerwesi sebagai pemujaan Sang Hyang Pramesti Guru yang
diiringi oleh Dewata Nawa Sanga (sembilan dewa) untuk mengembangkan segala yang
lahir dan segala yang tumbuh di seluruh dunia.
Pelaksanaan
upacara/upakara Pagerwesi sesungguhnya titik beratnya pada para pendeta atau
rohaniawan pemimpin agama. Dalam lontar Sundarigama disebutkan:
Sang
Purohita ngarga apasang lingga sapakramaning ngarcana paduka Prameswara.
Tengahiwengi yoga samadhi ana labaan ring Sang Panca 0Maha Bhuta, sewarna anut
urip gelarakena ring natar sanggah.
·
Makan Pagerwesi
Kata Pagerwesi
memiliki arti pagar yang terbuat dari besi. Secara harfiah, kata tersebut
melambangkan segala hal yang dipagari akan terlihat kokoh dan kuat. Atau dalam
makna lainnya, sesuatu yang dipagari merupakan yang bernilai tinggi sehingga
tak boleh sedikitpun mendapatkan gangguan apalagi yang merusak. Sanghyang
Pramesti Guru yang menjadi tujuan utama dilakonkannya upacara Pagerwesi ini
ialah manifestasi Tuhan yang dipercaya merupakan gurunya manusia dan alam
semesta.
Pelaksanaan upacaranya snagat unik dan lain dari yang lain karena
dilakukan di tengah malam buta. Upacara ini diutujukan kepada Panca Maha Butha
yang merupakan 5 unsur terbentuknya manusia yang terdiri dari tanah, air, api,
angin, dan ruang/ tempat. Pasca melakukan upacara ini, maka selanjutnya
melaksanakan Yoga-Samadhi untuk lebih menentramkan jiwa dan fikiran supaya bisa
menolak berbagai hasrat yang tidak baik.
Perayaan Hari
Raya Pagerwesi ini adalah rentetan dari hari raya yang ada di Bali, dan bagi
Anda yang ingin melihat dan menyaksikan upacara adat pada hari raya Pagerwesi
ini ada baiknya menyatu atau bersosialisasi dan terjun langsung ke masyarakat,
disitu Anda akan merasakan suasana dan keberadaannya juga keunikan dari upacara
tersebut.
Makna
filosofinya adalah hidup tanpa guru sama dengan hidup tanpa penuntun, dengan
adanya guru kita bisa mengetahui mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak
boleh dilakukan, tanpa guru kita bisa kehilangan arah dari tujuan semula
sehingga tindakan bisa jadi salah arah . Pengetahuan sejati itulah sesungguhnya
merupakan “pager besi” untuk melindungi hidup kita di dunia dan di alam lain
nanti. Pengetahuan akan lebih bermakna dan berarti bila ada Guru yang
membimbing, mengajarakan dan mengayomi.
7.
Hari Raya
Banyupinaruh
Setelah hari raya Saraswati di
lanjutkan dengan mandi di laut atau sumber-sumber air untuk pembersihan
diri. Banyu Pinaruh asal kata banyu= air), Pinaruh atau Pengeruwuh
(pengetahuan) secara nyata umat membersihkan badan dan keramas. Akan
tetapi prosesi bermaksud membersihkan kotoran atau kegelapan pikiran yang
melekat pada tubuh manusia, dengan ilmu pengetahuan atau mandi dengan ilmu
pengetahuan.
Simbolisasi di sungai karena
diharapkan ilmu yang telah dipelajari saat saraswati bisa mengalir lancar,
simbolisasi di laut bermakna agar ilmu yang dipelajari bisa membuat pengetahuan
kita luas dan dalam serta bisa menjadi peleburan segala kebodohan dan awidya, simbolisasi
di mata air karena diharapkan ilmu yang kita pelajari bisa menjadi sumber
pencerahan, kehidupan tidak hanya bagi diri sendiri tetapi juga masyarakat
banyak dan ilmu yang diperoleh manusia seharusnya dimanfaatkan untuk hal-hal
yang baik di jalan dharma.
Satu hari
setelah merayakan Hari Saraswati alias hari ilmu pengetahuan, umat Hindu
melakukan acara ritual Banyupinaruh. Banyupinaruh berarti menyucikan diri
dengan mandi di laut, danau atau sungai.
"Banyupinaruh
itu ritual pembersihan diri, pensucian diri dengan mencari sumber air seperti
ke sungai, ke laut atau ke danau, pokoknya sumber mata air, setelah kemarin merayakan Hari Saraswati," kata Ketut Wiguna, salah
satu warga Bangli, saat ditemui ketika mandi ritual Banyupinaruh.
http://jaringnews.com/seleb/hangout/31919/pasca-hari-raya-saraswati-umat-hindu-ritual-banyupinaruh
Komentar
Posting Komentar